By Admin LSP KATIGA PASS
16 Desember 2025 10:44:00
Behavior Based Safety (BBS) dikenal sebagai salah satu pendekatan populer dalam dunia Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Konsep ini menitikberatkan pada perilaku pekerja sebagai faktor utama penyebab kecelakaan kerja. Melalui observasi, umpan balik, dan penguatan perilaku aman, BBS diharapkan mampu menurunkan angka kecelakaan secara signifikan.
Namun, dalam praktiknya—terutama di Indonesia—penerapan BBS sering menghadapi tantangan serius. Salah satu kelemahan paling krusial adalah fokus yang terlalu besar pada individu, sementara masalah sistem, manajemen, dan lingkungan kerja justru terabaikan. Artikel ini akan membahas secara komprehensif tantangan tersebut serta implikasinya bagi dunia kerja di Indonesia.
Secara sederhana, BBS berangkat dari premis bahwa:
Sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh perilaku tidak aman (unsafe behavior)
Jika perilaku dapat diubah, maka kecelakaan dapat dicegah
Dalam program BBS, perusahaan biasanya melakukan:
Observasi perilaku pekerja di lapangan
Pencatatan perilaku aman dan tidak aman
Pemberian feedback langsung
Penguatan positif terhadap perilaku aman
Pendekatan ini sekilas terlihat logis dan efektif. Namun, masalah muncul ketika BBS diterapkan tanpa keseimbangan dengan perbaikan sistem kerja.
Di banyak perusahaan Indonesia, BBS sering kali berubah fungsi menjadi alat pembenaran untuk menyalahkan pekerja. Ketika terjadi kecelakaan, pertanyaan yang muncul biasanya:
“Kenapa pekerjanya tidak hati-hati?”
“Kenapa tidak patuh SOP?”
“Kenapa perilakunya tidak aman?”
Jarang sekali pertanyaan diarahkan pada:
Apakah SOP realistis untuk diterapkan?
Apakah alat kerja memadai?
Apakah target kerja terlalu menekan?
Akibatnya, pekerja merasa diawasi, dihakimi, dan disalahkan—bukan dilindungi.
Fokus berlebihan pada perilaku sering menutupi masalah yang lebih mendasar, seperti:
Desain kerja yang tidak ergonomis
Peralatan usang atau tidak layak
Jam kerja berlebihan
Target produksi yang tidak realistis
Kurangnya pelatihan yang memadai
Dalam kondisi seperti ini, perilaku tidak aman sering kali bukan pilihan, melainkan konsekuensi dari sistem yang buruk. Namun, BBS yang sempit justru menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada pekerja.
Di Indonesia, relasi antara manajemen dan pekerja masih cenderung hierarkis. Dalam konteks BBS:
Observasi dilakukan oleh atasan
Penilaian datang dari manajemen
Sanksi sering menyertai hasil observasi
Hal ini membuat BBS terasa seperti alat kontrol, bukan program keselamatan. Pekerja menjadi patuh karena takut, bukan karena sadar akan keselamatan.
Idealnya, BBS menjadi bagian dari sistem manajemen K3 yang komprehensif. Namun di lapangan:
BBS berjalan sendiri
HIRADC tidak diperbarui
Investigasi kecelakaan tetap dangkal
Perbaikan teknik (engineering control) diabaikan
BBS akhirnya hanya menjadi kegiatan administratif: checklist, form observasi, dan laporan bulanan—tanpa perubahan nyata di lapangan.
Perilaku pekerja sangat dipengaruhi oleh:
Sistem kerja
Lingkungan
Kepemimpinan
Budaya organisasi
Ketika seorang pekerja mengambil jalan pintas (shortcut), sering kali itu terjadi karena:
Waktu kerja tidak cukup
Alat tidak tersedia
Prosedur terlalu rumit
Namun BBS yang sempit hanya melihat “apa yang dilakukan pekerja”, bukan “mengapa ia melakukannya”.
BBS yang salah kaprah secara tidak langsung:
Mengalihkan tanggung jawab dari manajemen ke pekerja
Mengurangi urgensi investasi pada perbaikan sistem
Membuat kecelakaan terlihat sebagai “kesalahan manusia”
Padahal, dalam prinsip K3 modern, manajemen memiliki tanggung jawab terbesar dalam menciptakan sistem kerja yang aman.
Ketika pekerja merasa:
Selalu disalahkan
Tidak didengarkan
Tidak dilibatkan dalam perbaikan sistem
Maka program BBS akan kehilangan esensinya. Pekerja hanya “berpura-pura aman” saat diawasi, namun kembali ke kebiasaan lama ketika tekanan produksi muncul.
Agar BBS efektif dan relevan di Indonesia, pendekatannya perlu diperluas:
Observasi perilaku seharusnya menjadi pintu masuk untuk bertanya:
Kenapa perilaku ini terjadi?
Hambatan apa yang dihadapi pekerja?
Apa yang bisa diperbaiki dari sistem?
BBS akan jauh lebih efektif jika:
Observasi bersifat dua arah
Pekerja dilibatkan dalam diskusi solusi
Feedback digunakan untuk perbaikan sistem, bukan hukuman
BBS seharusnya bukan kontrol utama, melainkan pelengkap. Urutan prioritas tetap:
Eliminasi
Substitusi
Rekayasa teknik
Administratif
APD
Perilaku
Perilaku adalah lapisan terakhir, bukan fondasi utama.
Behavior Based Safety bukanlah konsep yang salah. Namun, penerapan BBS yang terlalu fokus pada individu dan mengabaikan perbaikan sistem justru berpotensi merusak budaya keselamatan itu sendiri.
Di Indonesia, tantangan terbesar bukan pada kurangnya program, tetapi pada cara pandang. Keselamatan kerja tidak bisa dibebankan hanya pada perilaku pekerja, sementara sistem kerja dibiarkan bermasalah.
BBS akan benar-benar efektif jika digunakan sebagai alat untuk memahami realitas kerja, memperbaiki sistem, dan membangun budaya keselamatan yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan.